Di Seberang Padang Rumput Ilalang

Matahari sudah mencapai titik tertinggi nya ketika mobil keluarga Pak Wijaya memasuki halaman sebuah rumah berwarna putih kusam bergaya khas zaman kolonial. Tiang-tiang rumah itu besar dan kokoh, rumah itu tidak bertingkat tapi memiliki luas dua kali luas rumah yang dihuni keluarga Pak Wijaya sebelumnya. Atap nya berbentuk kerucut dan terdiri dari susunan genting berwarna merah kehitaman. Di sisi sebelah kanan nya terdapat cerobong asap yang terbuat dari bata merah yang juga telah berwarna kehitaman. Rumah itu sangat rindang karena di sekeliling nya terdapat pepohonan yang berdaun lebat. Di beberapa tempat diantara rumput yang menyemak terlihat perdu mawar yang tengah mekar merekah. Rumah itu memiliki beranda yang cukup luas. Di sekeliling dinding rumah terdapat
jendela berbentuk kotak-kotak. Banyaknya hampir mengambil separuh dari luas dinding itu sendiri. Pintu nya berbentuk serasi dengan jendela rumah itu.

Pak Wijaya turun dari mobilnya dan tegak mengamati rumah itu. Menurut agen penjual, rumah itu sudah tidak di huni lagi sejak tiga tahun yang lalu. Pemilik sebelumnya telah pindah keluar negeri, oleh karena tidak ada sanak saudara yang akan menghuni nya, akhirnya rumah itu pun di lelang dengan harga murah. Pak Wijaya merasa beruntung bisa mendapatkan rumah itu, mengingat kondisi keuangan mereka yang sedang kritis. Bisnis yang digelutinya sewaktu tinggal di kota besar bangkrut setelah ia dikhianati oleh orang-orang kepercayaannya. Oleh sebab itu Pak Wijaya harus memulai usahanya dari awal kembali. Dan, di kota inilah Pak Wijaya merasa cocok untuk memulai membuka usaha yang baru.

“lumayan ya ma..” ujar pak Wijaya kepada istri nya yang baru turun dari mobil.
“iya, pa… lebih besar dari rumah kita yang lama” timpal istri nya sambil tersenyum.
“Ruri, ayo turun!” perintah Bu Hana ketika disadari nya putri satu-satunya itu belum keluar dari mobil. Ruri terlihat menggumamkan sesuatu sebelum akhirnya keluar dari mobil.
“Ma, kenapa sih kita harus pindah ke sini? Di sini kan sepi, kampung lagi!” Ruri mengomel.
“Ruri, Mama kan sudah pernah membahas ini sebelum nya, sudah jangan banyak tanya…!” kali ini Bu Hana tidak ingin dibantah. Ruri terdiam, memendam gerutu yang ingin melompat keluar dari mulutnya.
“ayo masuk.” ajak pak Wijaya kepada istri dan anak nya.

Mereka memasuki rumah itu. Udara di dalam rumah terasa lembab dan pengap. Bu Hana membuka pintu dan beberapa jendela agar udara segar masuk. Di dalam rumah itu sudah terdapat beberapa perabotan dan tertutup kain putih yang sudah berdebu.
“gimana, kalian suka kan dengan rumah ini?” tanya Pak Wijaya sembari menarik salah satu kain penutup pada satu set kursi tamu. Debu menguar ke udara, mereka kontan saja menutup hidung dan mulut.
“bagus Pa, rumahnya besar dan sudah ada perabotannya. Jadi kita tidak perlu membeli perabotan baru lagi, paling hanya menambah beberapa sesuai yang kita butuhkan saja.” Jawab Bu Hana, sambil mengusap-usap tangan kursi yang terbuat dari jati asli. Kursi itu berwarna coklat mengilat, ukiran yang terdapat pada sandaran kursi sangat indah, pasti dikerjakan oleh tangan seniman yang sangat terampil, pikir Bu Hana sambil tersenyum.
“trus kamar aku yang mana ma?” tanya Ruri tak sabar.
“oh iya, Mama sampai lupa, yuk kita periksa semua ruangan nya.” ajak Bu Hana pada suami dan anak-anak nya.
Mereka melihat-lihat seluruh bagian di dalam rumah. Rumah itu terdiri dari lima kamar tidur yang berukuran besar, dua kamar mandi, satu ruang tamu, satu ruang keluarga, dan satu dapur yang sekaligus merupakan ruang makan.

Ruri kemudian memilih kamar mana yang akan ia tempati. Ia memilih kamar dengan jendela yang menghadap ke arah barat. Malas katanya, jika harus bangun karena dibangunkan panas nya cahaya matahari pagi yang pasti akan menyorot tajam dari jendela kaca besar yang terdapat pada setiap kamar.
“jadi Mama dan Papa akan menempati kamar yang di sebelah kamar kamu ini saja ya…” kata Bu Hana memutus kan. “tapi seperti nya kita akan bekerja keras untuk membersihkan rumah ini.” kata Bu Hana ketika mata nya menyapu seluruh permukaan yang tertutupi oleh debu tebal.
“yaaahhh… cape deh!!!” sahut Ruri.



Ruri menghempas kan tubuh nya ke atas tempat tidur. Letih merayapi setiap otot dan persendiannya. Tiga hari bekerja tanpa istirahat memadai membuat lelah bersarang di setiap inci tubuh nya. Inilah salah satu alasan mengapa ia malas berpindah-pindah rumah. Rumah baru butuh banyak perbaikan dan pengaturan serta butuh tenaga lebih untuk membersihkan nya, agar kita dapat tinggal dengan nyaman di dalam nya. Ruri menatap langit-langit kamar nya yang telah dicat dengan warna biru cerah – Ya, kamar nya sekarang berwarna biru, walaupun semua ruangan di rumah ini telah dicat ulang dengan warna putih bersih. Ruri menolak kamarnya dicat dengan warna putih, seperti rumah sakit, katanya — Ingatan nya melang-lang buana…

“tapi ma, Ruri ga mau pindah. Ruri udah betah di sini, di sini Ruri banyak teman, kalau nanti pindah Ruri bakal nyesuaiin diri lagi, mulai dari nol lagi, Ruri…”
“Ruri… di sana itu lebih baik buat kita”, bu Hana memotong kalimat Ruri.
“lebih baik apa nya…” Ruri membantah.
“Ruri… mama mohon, mengertilah” bu Hana menatap Ruri dengan pandangan memohon.
“mama ngerti perasaan kamu, kamu pasti merasa sangat berat meninggalkan sekolah kamu, teman-teman kamu, apalagi… Rafa” bu Hana berhenti dan memperhatikan reaksi Ruri atas kalimat nya itu. Dan lirikan mata Ruri menjelaskan apa yang terjadi. Hana memahami benar apa yang di rasakan putri nya saat ini. Rafa adalah teman dekat Ruri satu tahun belakangan. Hana memeluk Ruri ketika dilihatnya air mata mulai merebak di wajah Ruri yang halus.
“sayang, maafin mama…” ucap Hana seraya megusap-usap punggung putri nya itu.

Ruri menghela nafas sesak, seolah-olah beberapa saat yang lalu ia kehilangan udara untuk di hirup. Rafa, cowok itu, apa kabar nya ya? tanya Ruri dalam hati. Ia telah memutuskan cowok itu secara sepihak. Sebenarnya Rafa ingin tetap mempertahankan hubungan mereka walaupun dengan jarak jauh. Tapi Ruri tidak percaya dengan hal itu. Dipisahkan oleh jarak, apa saja bisa terjadi. Ruri tidak mau mengambil resiko. Mengingat Rafa membuat perasaannya berkecamuk.

Ruri bangkit dari tidur nya dan berjalan menuju jendela. Jendela itu tak lagi buram seperti saat pertama Ruri melihat nya. Kaca nya yang bersih jernih membuat pemandangan di balik nya terlihat jelas. Senja telah menjelang, warna lagit yang tadi nya biru cerah sekarang telah menjadi jingga. Sungguh lukisan alam yang luar biasa. Ruri tertegun di depan jendela beberapa saat, matanya menatap jauh melintasi padang rumput ilalang. Entah dari mana datang nya, tiba-tiba Ruri melihat siluet seorang wanita diseret-seret oleh seorang laki-laki, langkah nya terseok-seok, bahkan kadang-kadang hampir tersungkur. Wanita itu tampaknya sedang menangis karena sesekali ia tampak mengusap wajahnya. Wanita itu tampak sedang memohon-mohon. Namun, Ruri sama sekali tidak dapat mendengar apa yang dikatakannya. Sedangkan lelaki yang menyeretnya sesekali menoleh dan membentak nya sambil mengacung-acungkan jari. Laki-laki itu mengenakan jaket dan topi lebar yang menutupi sebagian kepalanya. Ruri mengedip-ngedipkan matanya agar bayangan itu nampak nyata, ia menjulurkan kepala nya lebih jauh, hingga wajah nya menempel pada kaca. Ia berharap agar dapat melihat lebih jelas, namun yang terjadi, sebelum Ruri sadar benar apa yang dilihatnya, sosok itu telah menghilang di balik rimbun ladang jagung di seberang padang rumput ilalang. Ah, itu pasti pasangan suami istri yang sedang bertengkar, dan istri nya kabur, lalu sang suami berusaha membawa istri nya kembali pulang ke rumah nya, pikir Ruri. Ia pun kemudian menutup tirai jendelanya. Malam telah merayap turun ke bumi.

Ruri melangkah ke dapur, menghampiri ibu nya yang tengah mempersiapkan makan malam. Aroma kaldu sapi tercium dari panci yang mengepul di atas kompor.
“hmmm… sedap ni kelihatan nya, jadi laper…” ujar Ruri setelah melongokkan kepala melihat isi panci kemudian mengusap-usap perut nya.
“iya dong… ini Mama masak khusus buat kita semua” Hana tersenyum melihat tingkah putrinya.
“Ma, kenapa sih kita harus pindah jauh-jauh ke sini?”
“jauh gimana? Kan masih di pulau yang sama?”
“iya, masih pulau yang sama, tapi dari ujung ke ujung. Kenapa sih Ma, harus ke tempat kaya gini? mana sepi, kemana-mana jauh pula…”
“tapi di sini udara nya lebih bersih, lebih nyaman, ga bising kaya di kota besar.”
“trus sekolah aku gimana?”
“oh iya, Mama udah daftarin kamu di sekolah paling bagus di sini, dekat dengan tempat usaha papa yang baru, jadi kamu bisa barengan perginya sama papa.
“huft, jadi anak baru lagi deh..”
“Ya, jadi anak baru nya itu hanya sampai kamu kenal sama lingkungan yang baru saja. Setelah itu, semua akan normal lagi. Jangan terlalu dipikirkan.” kata bu Hana. “Ya sudah, sana siapin piring nya, katanya udah laper.” sambungnya memutus pembicaraan.
“ya Ma..” Ruri menurut. Tiba-tiba ia ingat peristiwa senja tadi. “eh iya Ma, tadi aku liat ada pemandangan ga enak deh ma..”
“ga enak gimana? Emang kamu udah nyicipin?” tanya bu Hana sambil menyicipi masakan yang di buat nya. Kemudian menambahkan garam ke dalam panci.
“ih… Mama becanda mulu. Ini serius Ma.. aku liat ada seorang perempuan yang diseret-seret oleh seorang laki-laki. Tapi kurang jelas, karena udah agak gelap..”
“emang kamu liat dimana?”
“itu, di seberang padang rumput.”
“paling cuma pasangan suami istri yang sedang bertengkar…” jawab bu Hana.
“ya… mungkin” ujar Ruri setuju dengan pendapat ibu nya.



Ruri menyisir rambut panjang nya yang hitam lebat. Ia mematut diri di depan cermin rias sambil tersenyum. Manis juga, komentar nya pada diri sendiri. Ruri tersenyum-senyum sendiri. Tiba-tiba ia melihat sekelebat bayangan melalui cermin. Ruri terkejut dan dengan cepat menoleh untuk memastikan apa yang di lihatnya. Namun ia tidak melihat apa-apa. Bayangan itu berlalu secepat kilat. Sedikit bergidik Ruri menghampiri jendela dan menutup gorden nya dengan cepat.
Ruri merasa ada yang aneh dengan lingkungan tempat tinggal nya sekarang. Entah mengapa, ia merasa sedang dimata-matai. Mengingat hal itu Ruri sering merinding sendiri. Ia pun menceritakan tentang perasaan takut nya kepada orang tuanya.
“Ruri, kamu jangan berpikiran macam-macam nak, itu hanya perasaan mu saja.” Kata Pak Wijaya
“Iya Ri, benar kata Papa mu. Makanya kamu jangan kebanyakan nonton film atau baca cerita horror, malah jadi aneh-aneh kan?” ujar Bu Hana. Tidak ada yang mendukung pemikiran Ruri. Ruri merasakan ada sesuatu.



Pagi itu, Ruri berjalan-jalan di sekitar lingkungan rumah barunya. Sebenarnya daerah itu sangat indah, pemandangan nya asri dan masih sangat alami. Gunung-gunung terlihat menghijau. Langit nya biru cerah. Beberapa petak sawah di jalan yang dilaluinya telah tampak menguning. Di pinggir jalan yang berumput terdapat satu atau dua sapi yang tengah merumput. Beberapa kali Ruri bertemu dan bertegur sapa dengan orang-orang yang berpapasan dengan nya. Penduduk nya ramah-ramah, pikir Ruri. Berbeda dengan di kota, masa bodoh dengan orang lain. Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ruri, sepanjang perjalanan nya ia tidak bertemu dengan gadis-gadis yang seumuran dengan nya. semua yang ditemuinya hanya bapak-bapak atau ibu-ibu. Aneh, pikir nya. Sedang berpikir-pikir demikian, Ruri tidak menyadari di depannya ada sebuah lubang. Kakinya terperosok dan ia pun terjerembab.
“aduuhh…” Ruri mengerang kesakitan. Ia mengurut-urut pergelangan kaki nya yang sakit. Tiba-tiba sebuah tangan kokoh memegang bahunya.
“kamu tidak apa-apa?” si empunya tangan menanyainya. Ruri mendongak, seorang cowok berdiri di depannya. Ruri memperkirakan lelaki itu baru berusia sekitar dua puluh lima tahun. Kulit nya berwarna coklat karena matahari. Rambut nya ikal dan agak sedikit gondrong. Matanya berwarna coklat terang dan dinaungi dua alis yang hitam dan bergaris tegas. Lelaki itu memiliki rahang yang kokoh. Dan saat ia tersenyum kepada Ruri, di antara bibir tipis nya tampak deretan gigi yang putih. Wah, ternyata di sini ada juga mahkluk keren, Ruri tersenyum sendiri dalam hati. Sejenak ia melupakan rasa sakit di kaki nya.
“saya bantu berdiri ya?” kata cowok itu lagi membuyarkan lamunan Ruri.
“oh-eh iya” Ruri tergugup. Ia mencoba untuk bangkit, namun pergelangan kaki nya benar-benar sakit sehingga ia kembali terduduk. Mulut nya mendesiskan rasa sakit.
“ya sudah, kalau kamu ga bisa berdiri saya gendong ya?”
“ngg..ga usah, saya bisa kok”
“ga papa, biar saya gendong dan antar kamu ke rumah, rumah kamu kan sudah tidak jauh dari sini.” ujar cowok itu lagi.
“lho? Memangnya kamu tau rumah saya?” Tanya Ruri heran.
“hehehehe… ini kota kecil, jadi pertambahan penduduk satu pasti akan terlihat jelas, dan berita nya pasti segera menyebar” terang cowok itu.
“oh, gitu ya..” Ruri mengangguk-angguk mahfum.
“gimana? Mau saya gendong?” Tanya cowok itu lagi.
“tapi…”
“ga papa, nyantai aja. Kamu kan lagi sakit.”
Akhirnya Ruri setuju, apa boleh buat, kaki nya benar-benar sakit. Sekarang malah mulai membengkak.

Sepanjang perjalanan Ruri hanya diam. Menahan sakit di kaki nya sekaligus menahan perasaan nya yang tidak karuan. Ia merasa jantung nya berdetak tiga kali lebih kencang dari biasa nya. Wajah lelaki itu hanya dua jengkal dari wajah nya. Ruri dapat merasakan hembusan nafasnya. Ia pun dapat merasakan detak jantung lelaki itu.

Tidak terasa Ruri telah sampai di depan rumah nya. Lelaki itu menurunkan nya dengan hati-hati dan memapah nya berjalan ke teras rumah. Ruri membuka pintu, namun ternyata pintu itu terkunci. Ruri mengetuk. Dan memanggil-manggil ibunya.
“Ma… Mama, bukain pintunya dong ma…” panggil nya sambil terus mengetuk. Beberapa kali ia mengetuk namun tetap tak ada sahutan.
“aduh… kemana sih Mama?” Ruri ingin menangis saja rasanya, tetapi ia malu kepada si cowok.
“Mama kamu kali aja sedang ke warung, mungkin bentar lagi balik” kata si cowok.
“mungkin” jawab Ruri lemah.
“eh iya, aku jalan dulu ya, masih ada yang harus aku kerjakan soal nya” kata si cowok.
“iya kak. Makasi banget ya kakak udah bantuin aku, malah udah gendong aku sampai ke sini”
“ga papa, kita sebagai manusia kan harus tolong menolong. Aku permisi dulu ya.” pamitnya.
“iya kak. Terimakasih.” ujar Ruri sambil tersenyum mengiringi kepergian si lelaki. Tapi tiba-tiba Ruri teringat sesuatu. Ia belum bertanya siapa nama lelaki itu. Lelaki itu telah menjauh, tidak mungkin ia memanggil nya untuk berbalik lagi.

Malam itu Ruri tidak dapat tidur. Kaki nya kembali berdenyut-denyut. Padahal tadi siang kaki nya telah diurut dan telah diberi obat. Ruri bangkit dari tidur nya. Kerongkongannya terasa kering. Ia ingin minum. Ruri menghidupkan lampu di sisi tempat tidurnya. Tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang jatuh di luar kamar. Ruri melihat sekelebat bayangan di balik tirai jendela. Ia pun urung turun dari tempat tidurnya karena perasaan takut telah menyelimuti hatinya sehingga bulu roma di tengkuk nya berdiri tegak. Ruri memutuskan menahan dahaga. Malam itu Ruri kesulitan untuk memejamkan matanya kembali. Saat ia akhirnya kembali tertidur, mimpi buruk menghantui tidur nya.

Sudah seminggu Ruri tidak keluar rumah. Kaki nya belum sembuh benar, masih terasa ngilu jika dijejakkan ke lantai. Akibatnya Ruri tidak bisa berjalan jauh. Ia hanya bisa mondar mandir di dalam rumah. Karena merasa bosan, Ruri membongkar koleksi komik nya yang masih di dalam kardus. Ia memang belum sempat memindahkan semua barang-barang dan buku-buku nya. Setelah menemukan komik yang akan ia baca, ia duduk di sofa yang menghadap ke jendela.

Ruri telah hampir selesai membaca setengah dari komiknya ketika jam dinding kuno di ruang tamu berdentang sebanyak enam kali. Tak terasa hari telah senja. Ruri menghentikan kegiatan membaca nya. Ia bangkit dari duduknya, dan berniat menutup tirai jendela. Namun kegiatan nya terhenti, ia melihat adegan itu lagi. Adegan seorang wanita yang tengah diseret paksa oleh seorang lelaki. Malah kali ini lebih parah. Ruri melihat sebuah ikatan pada tangan dan mulut wanita itu. Lelaki itu masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang dilihat Ruri sebelumnya. Ada apa sebenarnya? Masa iya, suami istri bertengkar hingga sedemikian rupa? pikir Ruri. Ruri terpana melihat kejadian itu. Ia merasa sangat iba kepada si wanita. Tiba-tiba si lelaki menoleh ke arah Ruri. Ruri terkesiap, jantungnya terasa hampir copot. Ia pun buru-buru menutup tirai jendelanya.

Malam nya saat makan malam Ruri menceritakan apa yang dilihatnya kepada Pak Wijaya dan Bu Hana.
“Ma, aku liat kejadian yang kaya gitu lagi deh Ma..” ucap nya membuka percakapan.
“kejadian yang mana Ri?” Tanya Bu Hana gak ngeh dengan maksud Ruri.
“itu lho Ma, yang waktu aku cerita waktu kita pertama dateng…”
“yang mana?” Bu Hana menghentikan suapan nya.
“itu.. yang aku liat di seberang padang rumput, yang kata Mama suami istri lagi bertengkar…”
“Ruri, jangan mau tau urusan orang” Pak Wijaya ikut menimbrung percakapan mereka.
“ga Pa, Ruri ga sengaja liat, bukan sengaja pengen liat, apalagi pengen tau” Ruri membela diri.
“ya sudah, ga usah ngebahas itu. Bikin ga enak suasana” kata Bu Hana menengahi.
“tapi Ma, kalau kaya gitu, itu kan udah termasuk KDRT, kasian banget istri nya”
“iya sih, tapi kita kan orang baru, belum tau gimana lingkungan di sini, ntar kalo kita ikut campur, bisa-bisa bikin salah paham. Iya kan Pa?”
“iya, Mama benar Ruri. Biar saja itu menjadi urusan orang dewasa. Kamu kan masih kecil”
“iiihhh Papa enak aja bilang Ruri masih kecil. Ruri kan udah gede. Bulan depan udah tujuh belas lho Pa?”
“oh iya, Papa lupa, anak Papa sekarang udah dewasa, tapi…”
“tapi apa…?”
“masih cengeng kaya anak balita…”
“Papa…!” Ruri memanyunkan bibir tipis nya. Pak wijaya dan Bu Hana tertawa-tawa melihat ulah Ruri.
“oh iya Pa, Ri, Mama denger dari ibu-ibu yang belanja di warung, ada berita ga enak nih beredar di kota ini. Sekarang sedang marak terjadi penculikan gadis-gadis di sini. Kabar nya sih, sudah ada empat anak gadis yang hilang. Katanya sih, kasus nya sedang ditangani polisi.” Kata bu Hana
“oh ya? Iihh, serem..” Ruri bergidik.
“nah tu Ri, kamu jangan keluyuran. Kita harus waspada. Mudah-mudahan kita dijauhkan dari hal seperti itu..”
“iya Pa, aamiin” jawab bu Hana. Sedangkan Ruri hanya diam, berbagai macam pikiran buruk berkecamuk di dalam kepalanya.

Malam itu Ruri tidak dapat tidur. Pikiran nya kembali ke berita yang disampaikan mama nya dan kejadian senja tadi. Apakah mungkin kedua hal itu ada hubungannya? Pikir Ruri menduga-duga. Tapi jika itu ada hubungannya, kenapa polisi tidak bisa menemukannya? Aku harus melakukan sesuatu! Tekad Ruri sebuah ide muncul di benak nya.

Keesokan paginya Ruri bangun cepat. Ibunya sampai heran melihat Ruri pagi itu.
“tumben, anak Mama bangun pagi. Mau nyaingin ayam jago Papa ya?” kata mama nya yang tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi.
“yah… Mama, bangun pagi diledekin, bangun siang dimarahin. Ri jadi bingung. Apa mending ga bangun-bangun aja kali ya?”
“ya, gitu aja ngambek. Anak Mama yang cantik… kalo sering ngambek, ntar cantik nya ilang lho!” bu Hana mencubit ujung hidung Ruri.
“ih, Mama. Gitu deh…” kata Ruri sambil memeluk ibunya. Mereka pun tersenyum.
“Papa mana ma?” Tanya Ruri.
“mungkin di depan, kenapa?”
“ga… nanya aja.” Ruri nyengir kuda.
“nah, sana bantuin mama nyiapin piring buat sarapan.” Titah bu Hana.
“oke bos!” sahut Ruri dengan posisi hormat.

Setelah selesai sarapan, pak Wijaya pergi bekerja. Karena lokasi kantor nya yang baru melewati pasar, bu Hana pun turut dengan Pak wijaya. Ia hendak ke pasar karena ada beberapa keperluan yang ingin ia beli. Tinggallah Ruri seorang diri di rumah. Mengisi kekosongan Ruri pun mengambil sapu lidi. Ia akan menyapu halaman saja, pikirnya. Ruri sedang membenahi rumpun mawar ketika sebuah suara menyapanya.
“selamat pagi, sedang sibuk ya?” sapa suara itu.
“ah, nggak…” Ruri mendongakkan kepalanya. Di depannya berdiri sesosok mahkluk manis. Lelaki yang membantu nya waktu itu. Yang belum sempat ia tanya namanya.
“wah, mawar nya cantik.” Lelaki itu tersenyum dan menurut Ruri, itu senyum termanis yang pernah dilihatnya.
“hehehhe… makasih kak.” Ruri merasa wajahnya telah memerah. Padahal bukan ia yang di puji.
“permisi dulu ya” lelaki itu mohon diri.
“lho kak, kok buru-buru?”
“ya, soal nya masih ada keperluan lain.”
“eeh… tapi sebentar kak, waktu itu kan kita belum sempat kenalan. Masa aku ga tau nama orang yang pernah menolongku..”
“namaku Damar, Damar Aditya.” Lelaki itu menulurkan tangan nya.
“aku Ruri kak, Ruri Wulandari” Ruri menjabat tangan kokoh lelaki itu. Tangan itu terasa hangat dan bersahabat.
“ya sudah, aku permisi dulu ya.”
“oh-eh, iya kak. Hati-hati ya kak…” kata Ruri sebelum lelaki itu berlalu.
Dan lelaki itu kembali tersenyum. Senyum yang membuat hati Ruri ketar-ketir.

Selesai menyapu halaman, Ruri duduk di beranda rumahnya. Bu Hana belum pulang dari pasar. Tiba-tiba Ruri teringat idenya tadi malam. Ia akan menyelidiki padang rumput ilalang dan ladang jagung di belakang rumahnya. Mungkin ada sesuatu di sana yang bisa menjawab penasaran dan keingintauan hatinya. Mumpung ibunya belum pulang, ia akan ke sana sebentar, pasti tidak akan lama, pikirnya. Ruri mengganti pakaian nya dengan celana jins dan sepatu kets.

Ruri berjalan menerobos rumput ilalang yang tumbuh setinggi pinggang nya. untung saja ia memakai celana panjang dan sepatu. Jika tidak pastilah saat ini kulit nya akan tergores pinggiran daun ilalang yang tajam. Mudah-mudahan tidak ada ular atau binatang buas lainnya, doa Ruri dalam hati. Agak jauh berjalan, Ruri menemukan jalan setapak. Tidak terlalu besar, tapi cukuplah untuk penunjuk jalan. Ruri menyusuri jalan itu. Matahari menjelang siang terasa mulai panas menyentuh kulit Ruri, sehingga keringat pun mulai mengalir di seluruh tubuh Ruri.

Ruri sampai di ujung padang rumput ilalang. Di sana terdapat ladang jagung yang cukup luas dan sepertinya jagung-jagung di sana telah siap panen. Pohon-pohonnya hampir seluruhnya telah menguning dan buah yang besar-besar telah bermunculan dari sela dedauannya. Ladang itu dipagari dengan pagar bambu yang di susun rapat setinggi dada orang dewasa. Ruri mencari pintu masuk ke ladang itu. Ternyata pintu nya terletak di bagian sudut pagar. Pintu itu di ikat dengan rantai dan terdapat sebuah gembok yang berukuran lumayan besar. Ruri sedikit heran, kenapa pagar itu pakai di gembok segala? Ruri hanya dapat mereka-reka jawaban dalam hatinya.

Ruri menyelipkan tangannya di antara celah kecil yang terdapat di pagar tersebut, menjangkau gembok nya untuk melihat apakah itu terkunci atau tidak. Ternyata gembok itu tidak terkunci. Dengan sedikit usaha, akhir nya Ruri dapat melepaskan rantai yang terkait pada gembok. Ruri membuka pintu itu. Ia pun memasuki ladang jagung itu.

Ruri berjalan di sela pokok-pokok tanaman jagung. Sesekali ia menepikan daun-daun yang menjulai menutupi jalannya. Ruri menoleh ke belakang, ia berusaha menandai jalan masuk nya. Ia takut tersesat jika ingin keluar nanti. Ladang itu ternyata lumayan luas. Tiba-tiba perasaan takut merayapi hati Ruri. Separuh bagian hatinya menyuruhnya keluar dari ladang itu dan separuh hatinya yang lain merasa penasaran dan ingin mencari tau sebuah jawaban.

Ruri sampai di bagian tengah ladang, alih-alih tanaman jagung, di sana malah terdapat sebuah pondok. Atap nya terbuat dari jerami. Dan dindingnya terdiri dari anyaman bambu. Di salah satu sisi bagian dindingnya terdapat sebuah jendela kecil dalam keadaan tertutup. Namun di bagian sisi lain terdapat sebuah pintu dalam keadaan sedikit terbuka. Ruri memperhatikan keadaan sekeliling. Sepi, yang terdengar hanya bunyi dedaunan yang bergesekan karena angin. Perasaan ingin tau mengarahkan kaki Ruri untuk melangkah lebih dekat ke arah pondok.

Ruri melangkah ke sisi pondok yang ada jendela, ia mencongkel jendela itu dan berusaha mengintip ke dalam. Ruangan itu merupakan kamar dengan ukuran kecil. Di dalam kamar itu terdapat sebuah dipan beralaskan tikar daun pandan. Di dindingnya tergantung sebuah lampu minyak. Tidak ada siapa-siapa di sana. Ruri beralih ke pintu pondok. Ia akan masuk dan memeriksa. Ruri tahu, sebenarnya ia tidak boleh melakukan itu. Tetapi penasaran yang menjalari seluruh urat syaraf nya membuat nya terus bergerak untuk mencari tahu.

Ruri mendorong pintu pondok itu dengan perlahan. Sebuah ruangan, mungkin semacam ruang tamu. Disana hanya terdapat sebuah bangku. Mungkin pondok ini kosong, pikiranku saja yang aneh-aneh, pikir Ruri. Ia akan menutup pintu itu lagi ketika di dengar nya suara mendengus. Ruri terlonjak kaget. Jantungnya seakan berhenti berdetak. Ia berhenti bergerak, memusatkan perhatian pada suara yang di dengar nya tadi. Sekali lagi suara itu terdengar.
“ah…uh…uhhh…” suara itu makin sering. Ruri melangkah masuk ke dalam ruangan. Ia menyingkap tirai yang menghubungkan ruang depan dengan ruang belakang. Dan pemandagan di sana membuat nya terkesiap. Di lantai, di atas tikar duduk empat orang gadis belia dengan kondisi tangan dan kaki terikat. Di tubuh mereka terdapat beberapa luka dan memar. Wajah mereka terlihat sembab. Mulut mereka disumpal dan diikat dengan kain. Dari sana lah asal suara yang di dengar Ruri. Melihat pemandangan itu Ruri merasakan lutut nya gemetar. Sesaat ia tidak tau apa yang harus dilakukannya. Urat-urat syaraf nya menegang karena kaget dan ketakutan. Untunglah itu tak berlangsung lama. Kesadaran segera menghampirinya. Ia harus menolong mereka. Dengan cepat Ruri menghampiri salah satu dari gadis yang duduk di lantai. Ia membuka ikatan di mulut gadis itu.
“cepat tolong kami sebelum ia datang..” kata gadis itu.
“siapa yang menculik kalian?” tanya Ruri. Tangan nya sibuk melepaskan tali yang mengikat tangan si gadis. Simpul nya terlihat rumit. Menyesal ia tidak membawa pisau.
“laki-laki penipu itu, mulut nya manis, wajahnya seperti malaikat. Ternyata ia lebih kejam dari iblis” ceracau gadis itu dan ia pun mulai menangis.
Aaahh… Kenapa tali ini sangat sulit dibuka, rutuk Ruri. Tangannya semakin gemetaran. Jantungnya berdetak sangat kencang kali ini.
“cepat tolong kami sebelum ia datang” pinta gadis itu lagi.
“ya, sedang kuusahakan, tapi tali ini sangat kuat.” Ujar Ruri.
“bisa di bantu?” sebuah suara mengagetkan mereka. Ruri menoleh ke belakang. Di sana berdiri sesosok laki-laki yang di kenalnya. Sosok yang sempat membuat hatinya ketar-ketir.
“Damar…” hanya itu yang dapat di ucapkan Ruri sebelum pandangan nya menjadi gelap dan ia tersungkur ke lantai. Sebuah balok kayu menghantam tengkuk nya dengan telak.

Karya: Loli Asmara dewi
Category: 0 komentar Print and PDF

0 komentar :

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan baik.

Cerita Kita. Diberdayakan oleh Blogger.