Ternyata Ibu Peduli

Namaku wilania. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Umurku kini 15 tahun. Aku tinggal dengan keluarga yang berkecukupan. Ayahku bernama Jaenal, beliau berumur 49 tahun. Ayahku sudah dua tahun bekerja di Jepang sebagai businessman dan ia pulang ke rumah hanya tiga bulan sekali. Lalu ibuku bernama Ayira, beliau berumur 44 tahun. Dan kakakku bernama Meiriska Hanna, dia berumur 17 tahun.

Hari semakin gelap dan hujan turun membasahi kami yang sedang menunggu jemputan. Menunggu sampai sore dan akhirnya jemputan kami datang. “huh… Gimana sih pak. Kok lama banget datangnya?” tanya kak Hanna, panggilanku untuknya. “iya… Maaf mba, tadi ban mobilnya bocor”. Jawab pak Karim, sopir pribadi keluarga kami. Setelah beberapa menit di perjalanan menuju rumah, akhirnya tiba juga di rumah. “ibu… Kita pulang” teriakku sambil mencari ibu. “wah… Hanna gimana ujiannya? Kamu bisa mengerjakannya?” tanya ibu sambil menarik tangan ka Hanna. “bisa bu… Ya ada yang bikin bingung juga sih bu. Tapi aku bisa menyelesaikannya kok” jawab kak hanna dengan gembira. Aku mendengarkan mereka berbicara dan bercanda. Karena aku merasa seperti tidak ada di hadapan mereka, aku meninggalkan mereka dan masuk ke dapur untuk mencari makanan. Aku melihat meja makan yang kosong, tidak ada makanan yang disediakan. “ibu… Kok ga ada makanan? Aku kan laper bu, habis ujian” sindirku kepada ibu. “iya wila… Ibu ga masak. Kamu mesen aja di luar” seru ibu dengan teriakannya. Saat ku telepon Pizza Hut untuk memesan pizza, tiba-tiba ibu datang ke dapur dengan menggandeng kakak. “wil pesennya dua yah, buat kakakmu juga. Kasian tadi dia kebingungan ngisi kertas ujiannya” pinta ibu kepadaku sambil memberi kakak minum. Selesai menelepon, aku pergi ke kamar. Kubuka buka catatan diaryku yang pertama kubeli. Aku menulis kejadian yang sangat menyedihkan dan membahagiakan.

Setelah setengah jam aku menunggu pesanan, akhirnya datang juga pesanan yang kupesan itu. “tok… Tok..” Terdengar suara ketukan pintu dari ruang tamu. Kuhampiri ruang tamu untuk membukakan pintu tapi ibu sudah membukakan pintu itu. Setelah ibu memberi uang kepada pengantar pizza, ia memberikan pizza tersebut kepadaku. “nih, pizzanya. Jangan lupa kakakmu kasih” “iya bu..”. Aku langsung pergi ke dapur dan memanggil kak Hanna. “kak… Pizzanya udah datang nih. Buruan ke meja makan” panggilku kepada kak Hanna. Kemudian kak Hanna keluar dari kamarnya “Wil, punyaku mana? Yang ini atau yang itu?” Sambil menunjuk dua pizza tersebut. “yang mana aja kali kak. Kan sama aja rasanya” jawabku. “kakak kira kamu pesen yang beda rasa sama pizza kakak. Jadi kakak tanya dulu” jelas kak Hanna. “bu… Mau pizza ga nih? Aku sisihin ya” teriak kak hanna memanggil ibu. Karena suara kak Hanna sangat keras, ibu langsung menghampirinya “ada apa sih Hann?” Tanya ibu kepada kak Hanna. “ibu mau ga? Nih aku sisihin” tanya kak hanna kepada ibu. Setelah aku menghabiskan pizza itu sendirian, tiba–tiba kepalaku pusing dan mengeluarkan darah dari hidungku. “Wil? Kamu kenapa. Ada darah di hidungmu” tanya kak Hanna kepadaku. Tak sempat kujawab pertanyaannya, aku langsung tak sadarkan diri.

Mataku mulai terbuka melihat ke sekeliling ruangan. “aku dimana?” Gumamku. “Wil gimana keadaanmu?” Tanya seseorang yang ada di sebelah kananku. “kak Hanna.. Ini dimana kak?” Tanyaku. “rumah sakit… Tadi kamu pingsan. Karena aku dan ibu panik, ya kita bawa kamu ke rumah sakit” terangnya. Aku melihat ke sekeliling ruangan, dan tidak melihat ibu. Aku berpikir kalau ibu tidak peduli dengan keadaanku. “kak Hanna, ibu mana?” Tanyaku penasaran kepada kak Hanna. “oh ibu, karena ia panik, ibu menelepon ambulan dan ia tidak ikut karena ingin memberitahu ayah tentangmu” “oh ternyata ibu masih peduli kepadaku” gumam hatiku. Kak Hanna tiba–tiba ingin keluar ruangan. “Wil, kakak mau cari sinyal ya, disini sinyalnya jelek. Cuma sebentar kok, kakak pasti balik lagi” sambil tersenyum padaku. Dan kubalas senyumannya dengan maksud memberikan persetujuan.

Beberapa jam kemudian, pak dokter menghampiriku yang sedang berbaring. “namamu Wilania kan?” Tanyanya ke padaku. “iya dok, dokter yang periksa saya?” “iya… Ibu kamu ada?”. Aku heran dengan pak dokter yang menanyakan ibu, karena yang sakit kan aku bukan ibu. “memangnya ada apa dok? Kok tanya ibu?” Sedikit penasaran kutanya langsung kepada pak dokter. “mau ngasih laporan tentang keadaanmu” jawab pak dokter. “ya sudah, kasih tahu ke saya aja dok” saranku. “jangan… Kamu masih belum mengerti” cegah pak dokter. “brak…” Suara pintu terbuka. “eh ibu… Ibu darimana saja?” Tanyaku kepada ibu. “tadi ibu telepon ayahmu dulu. Eh pak dokter, lagi apa pak?” Tanya ibu kepada pak dokter. “kebetulan ibu datang. Tadi saya menanyakan ibu kepada Wilania. Saya ingin melaporkan hasil tes anak ibu” “oh, kalau begitu ayo pak. Tapi Jangan disini pak, di luar saja” ibu mempersilahkan pak Dokter ke luar ruangan. Karena aku begitu heran dengan pak dokter yang sedikit menutupi keadaanku. Aku mengintip dan mendengarkan mereka dari selah–selah pintu. Saat aku mendengarkan mereka bicara, pak dokter mengatakan “ker”. Kemudian aku melihat ibu sedih. Kudengarkan perkataan pak dokter yang mengulang kata “ker”. “hah…” Gumam hatiku dan aku terdiam mendengar kata “kanker”. “stadium berapa dok?” Tanya ibu kepada pak dokter dengan nada rendah. “stadium akhir” pak dokter menunduk. “apa…?” Ibu terkejut mendengarnya. Dan aku pun tak menyangka akan separah itu keadaanku. “tapi dok, kenapa tidak ada tanda–tanda Wila terkena kanker dok? Setahu saya Wila tidak pernah mimisan dan hanya kali ini dia mimisan dan pingsan” ibu menitikan air mata. “mungkin anak ibu menutupinya” jawab pak dokter. Karena mendengar ucapan pak dokter tersebut, aku langsung berbaring kembali ke tempat tidur dan memikirkan kembali apa yang tadi pak dokter katakan.

Tiba–tiba ibu menghampiriku dan aku melihat wajah ibu tidak sedih. Sepertinya ibu menutupinya. Ibu tersenyum padaku dan kubalas senyumannya. “Wil, sebelum pingsan kamu mimisan. Apakah kamu sering mimisan?” Tanya ibu kepadaku dengan ragu. “aku lupa bu” aku menoleh ke arah kiri. “jangan bohong… Kamu” ibu membentakku. Aku terkejut dengan bentakkan ibu dan terdiam. “bu… Aku sakit apa? Sampai ibu membentakku seperti itu?” Tanyaku sambil menitikan air mata. “engga… Kamu ga sakit keras kok” sambil memalingkan wajahnya ke arah kiri dan ia pun pergi. Aku memikirkan tentang diriku mimisan. Seingatku pertama kali mimisan yaitu waktu kelas tiga SMP. Saat itu aku sedang makan siang di sekolah. Dan setiap sebulan sekali aku mimisan. Tapi saat ini setiap semingu sekali aku selalu mimisan. Karena kau takut dimarahi, aku tidak memberitahukan kepada kedua orangtuaku.

Setelah seminggu aku dirawat di rumah sakit. Sesuatu terjadi kepadaku, Rambutku mulai rontok dan tubuhku semakin melemah. Sepertinya penyakit itu telah menjalar ke seluruh tubuhku. Setiap hari selalu ada yang mengunjungiku. Baik temanku maupun teman–teman kedua orangtuaku. “gimana kamu, Wil? Udah seminggu ga masuk ke sekolah” tanya salah satu temanku yang bernama Gita. “iya nih… Aku juga ingin segera keluar dari sini” sambil cemberut. Karena aku begitu rindu dengan buku diaryku, aku meminta tolong kepada Gita untuk mengambilnya di rumahku. Tapi aku ingin dia tidak diketahui oleh ibu. “Git, aku punya satu permintaan untukmu. Tapi apakah kamu bersedia?” Tanyaku kepada Gita dengan tenang. “apa Wil? Silahkan saja, aku ini kan teman dekatmu” jawab Gita dengan mengelus rambutku. “aku ingin kamu mengambil buku diaryku di kamarku. Tapi tanpa sepengetahuan ibuku” kutatap matanya. Gita pun terkejut karena untuk menolongku mengambilkan diary itu gampang tapi untuk tidak diketahui ibuku itu susah. “akan kucoba Wil” jawab Gita dengan tersenyum kepadaku. Dan kubalas senyumannya.

Keesokan harinya Gita datang ke rumah sakit. “Wila, aku dapatkan diarymu” sambil memelukku yang sedang berbaring. “oh ya… Mana?” Sambil tanganku meminta. “ini dia” dengan tersenyum Gita memberikan kepadaku. “oh… Terimakasih Git. Kamu memang teman dekatku yang baik” saku memeluk daryku dengan erat. “memangnya apa yang kamu tulis sih di diarymu itu? Sehingga kamu ingin diary itu”. “aku sudah tulis kesedihanku dan kebahagiaanku tentang keluargaku. Jadi jika suatu saat nanti aku menghilang. Kesedihanku dan kebahagiaanku selama ini tertulis di diaryku ini. Nanti kamu kasih ke kakak atau ke ibuku atau siapalah yang penting keluargaku, yah…”. “iya Wil. Tapi kamu jangan ngomong gitu ah. Kamu pasti sembuh” Gita menyemangatiku dengan senyuman dan dukungan.

Sudah dua bulan aku berbaring di rumah sakit. Namun kali ini tubuhku sudah tak bisa bergerak dan kepalaku sudah tidak ditumbuhi rambut. Dan hari kemarinlah aku terakhir menulis di catatan diaryku. Mungkin ini memang takdirku. Kini ayahku tiba di Indonesia untuk menjengukku. Dan begitu pula yang lainnya. Mereka semua tinggal di rumah sakit untuk menemaniku. “ibu… sepertinya aku akan pergi bu, aku minta maaf karena aku mengira ibu tidak peduli kepadaku” kalimat yang ku ucapkan kini tak jelas. “ada apa Wil?” Tanya kakak. Aku hanya menggelengkan kepala. Semua keluargaku berkumpul dihadapanku. Mereka menatapku seperti kasihan kepadaku. Aku tak sanggup untuk melihat wajah mereka sehingga aku menitikan air mata. “ada yang kamu mau katakan?” Tanya ayahku. “iya… Aku ingin kalian tahu. Bahwa aku menyayangi kalian semua” begitu sulit aku mengucapkannya. Mereka tidak mengerti perkataanku, demi kejelasan perkataanku. Mereka memberikanku abjad dan aku hanya mengangguk jika salah satu abjad itu ditunjuk oleh kakakku benar. Setelah selesai, beru mereka mengerti apa yang aku katakan. “Wil, ibu mohon kamu jangan tinggalkan ibu. Ibu belum melihatmu bahagia”. Kemudian ibu menangis dan aku sedih melihatnya. Aku tersenyum menandakan aku bahagia. Setelah mengatakan hal tersebut mataku mulai bergoyang dan perlahan–lahan pandanganku memudar. Mungkin ini terakhir aku hidup, dan mataku tertutup untuk selamanya. Mereka semua menangisiku, sebelum tubuhku tidak bisa bergerak dan aku pergi selamanya. Aku menyimpan buku diaryku di atas meja.
“bu… Ini buku diarynya Wila. Tertinggal di meja” sambil menyodorkan diaryku kepada ibu. Ibu mulai membaca dari cover buku diaryku “kesedihanku–kebahagiaanku”. Ibu membaca diaryku dengan menitikan air mata. Karena aku menulis dari awal kubeli buku diaryku sampai akhir hidupku.

Inti Isi diaryku “ibu, aku kira ibu tidak peduli kepadaku. Aku melihat ibu hanya peduli dengan kakak saja. Tapi aku yakin ibu menyayangiku. Ibu… Aku sering menutupi tentang keadaanku. Aku selalu mimisan dan tidak pernah memberitahukanmu. Aku takut dan sedih jika ibu tahu. Aku baru sadar ibu peduli kepadaku saat aku mulai lemah. Tapi itu tak apa. Meskipun hanya akhir–akhir ini tapi aku yakin ibu sangat menyayangiku. Ibu, ayah dan kakak kalian harus tahu meskipun aku tak ada aku akan ada di dalam hati kalian”.

Category: 0 komentar Print and PDF

0 komentar :

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan baik.

Cerita Kita. Diberdayakan oleh Blogger.