Rindu Dan Kamu

Aku berdiri terdiam di atas trotoar ini. Berusaha mengabaikan suara-suara bising dari keramaian jalanan. Sebenarnya aku takut, tapi aku mencoba untuk menguatkan hati. Kututup mataku, untuk mengingat-ingat dirimu. Aku ingat saat itu. Senyumnya, tatapan teduhnya, tawa lepasnya, semua tentangnya. Aku ingat, setiap menit yang kita lalui. Dia berarti bagiku, namun nampaknya takdir belum membiarkan kita bersatu. Terkadang aku berpikir, buat apa Tuhan mempertemukan dua orang namun setelah itu berpisah? Sakit. Semuanya sudah aku rasakan, tangisan dan tawa itu.

Dengan hati-hati aku langkahkan kakiku, menyusuri ruas-ruas trotoar ini. Aku coba memutar kembali semuanya satu per satu. Tentang ‘kita’ yang dulu pernah bersama. Aku ingat, saat pertama kali kau tertawa, membicarakan hal-hal bodoh tentang dirimu. Menarik tanganku agar aku tidak tertinggal di kerumunan itu. Menali tali sepatuku agar tidak terinjak olehku. Dan memakan es krimku ketika aku tidak kuat untuk menghabiskannya. “Kasian nih es krimnya, kamu tega ya biarin es krimnya meleleh. Aku makan ya.” Ucapmu dengan sedikit menggodaku. Itu dulu. Dia selalu begitu. Selalu ada alasan untuk memakan es krimku. Sebel. Terlalu banyak memori tentangmu. Aku masih mengingatnya, tiap hal-hal kecil yang masih terekam jelas dikepalaku. Aneh.

Langkah kakiku terhenti, ketika berada di depan tempat duduk yang biasa kita duduki, dulu. Aku melihat sekeliling, dan tak ku sangka akan menemukannya. Memori itu, saat semuanya berawal. Saat kau tiba-tiba mengajakku pulang bersama. Duduk di tempat ini dan kau menatapku lalu menyatakan, tiga kata yang tak pernah ku duga sebelumnya dan akan mengubah segalanya. Aku begitu bahagia. Aku. Kamu. Kita. Lucu ketika mengingat semuanya terjadi secara tidak sengaja. Sesuatu yang awalnya biasa menjadi begitu berarti.

Dua bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan, enam bulan aku menyadari bahwa aku benar-benar menyayanginya. Semuanya berlalu biasa saja. Tapi, tak pernah terpikir olehku bahwa kita akan menjadi seperti ini, tak pernah terpikir cintaku akan sesakit ini. Aku tahu semuanya akan berakhir. Ah tidak, aku tak ingin mengingatnya. Aku tutup lagi semua memori itu dan bergegas bangkit dari tempat duduk kita. Kualihkan pandanganku kepada sekeliling. Aku perhatikan satu per satu orang. Mereka sama sekali tidak peduli padaku. Sibuk sendiri. Bahkan, mereka sama sekali tidak tahu akan kehadiranku. Baiklah, sudah cukup hari ini aku kemari.
Aku segera beranjak dari tempat duduk kita. Melangkahkan kakiku untuk menyusuri trotoar lagi. Aku pikir, selamanya kau bisa berada disini, di sisiku. Selamanya aku bisa menatapmu. Apakah kamu tahu rasanya ketika seseorang yang sangat berarti tiba-tiba pergi dari hidupmu? Sedih, kecewa itu yang aku dapat. Sudah pasti. Namun rasa sayangku masih lebih kuat untuknya.

Terlalu lama aku mengekang semua emosi ini. Terlalu lama aku berselimut kenangan itu. Terlalu cepat kau meninggalkanku. Aku menghentikan langkahku. Pikiranku seketika melayang, saat kau mengatakan itu, dulu. “Lin, aku sayang. Sayang banget sama kamu. Tapi, maaf aku nggak bisa ngelanjutin kisah kita. Aku nggak mau masuk terlalu dalam lagi Lin. Aku harus pergi. Aku harus sembuh. Aku harus pergi untuk sembuh. Ada satu hal yang perlu kamu lakuin ke aku. Janji? Tolong berjanjilah padaku untuk tidak mengingatku lagi. Maaf, Lin.” Aku tahu, aku salah mengingkari janji kita. Tapi Dim, aku nggak bisa. Aku nggak bisa, Dimas.
Tanpa terasa air mataku mulai mengalir di pipiku. Mengikuti lekuk wajahku, kuresapi setiap rasa sakit di dada ini. Emosiku berantakan ketika mengingat memori itu. Aku kehilangan arah, Dim. Aku buta. Aku mengikuti kemana langkah kakiku berlari. Berlari meninggalkan semua memori payah dalam ingatanku. Aku pingin ketemu kamu, Dim, batinku. Dan sampailah kaki ini berhenti, tepat dimana seharusnya aku berhenti.

Aku mengusap peluh di dahiku. Capek. Aku hirup udara sejuk disekitarku dan memperhatikan sekeliling. Tenang banget. Suasana disini tenang, pantas saja Dimas betah, desahku. Hm, Ternyata tidak pernah berubah. Masih saja sama. Meskipun sekarang lebih berantakan. “Dimas jorok ih?!” Ucapku langsung berbalik karena takut menatap Dimas. “Hai, Dimas. Apa kabar?” Tanyaku masih memunggungi Dimas. Ih, aku menunggu jawabannya, tapi Dimas hanya diam.
“Dimas…” Panggilku lirih. “…aku minta maaf udah ngelanggar janji dari kamu. Masih ingat kan? Jujur Dim, aku nggak sanggup buat ini semua. Kenapa kamu tega ninggalin aku? Kenapa?! Dimas jawab aku!” Suaraku mulai menaik. Aku berbalik dan memberanikan diri memeluk Dimas. Memeluk Dimas yang terbaring dalam tidur panjangnya. Aku menangis sekencang-kencangnya. Meluapkan segala kesedihan dalam dada ini. Melepaskan semua kerinduan yang telah lama tertinggal. Meneteskan air mata dalam emosi tak terkendali ini.
“Terasa lega dan nyaman. Terasa hangat dan walaupun aku tahu kau tak akan pernah bisa kembali untuk menemuiku, bertegur sapa padaku, ataupun memelukku…” Tangisku pecah kembali, menggenggam tanahmu lebih keras.

“…memang terkadang apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Lalu, aku mengetahui bahwa kau tak akan pernah kembali. Mungkin aku terlalu egois karena tidak bisa melihat kenyataan ini. Karena selama ini yang aku tahu, kebahagiaan itu adalah kamu. Aku sayang kamu, Dim. Seharusnya aku sadar, akan jarak yang memisahkan kita. Akan ruang yang telah berbeda. Aku mencoba, Dim. Mencoba untuk melepaskan semua ini, tapi tentu saja tidak mungkin melupakannya. Jadi biar seperti ini saja. Kenanganmu, kenangan kita, tetap tinggal di satu sisi hati kecilku.” Aku menghapus air mata yang terjatuh di pipiku, untuk terakhir kalinya. Aku ambil seikat bunga kesukaanmu, Scarlett Pimpernel dari dalam tasku. Lalu aku letakkan di atas tempatmu terbaring tidur. Aku sebait doa untukmu, Dimas.

Perlahan aku berdiri dan berbalik, meninggalkanmu sendiri disini, Dimas. Terkadang aku merasa sesuatu, Dim. Kerinduan. Rindu kamu. Tapi, ceritanya sudah berakhir, aku ingin membuat cerita yang baru dengan tokoh yang berbeda. Iya, aku dan kamu yang lain.

Category: 0 komentar Print and PDF

0 komentar :

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan baik.

Cerita Kita. Diberdayakan oleh Blogger.